Untuk Senja, Sepotong

Untuk sepotong Senja,

Kutemukan Dia tatkala langit menjatuhkan pendar keemasan yang sarat, saat kegelisahan menyelinap diam diam bersama senyap, berkelebat. Apakah kegelisahan itu yang memanggil manggil, hingga aku terkesima dan terjerat ? Atau akulah yang menyapa lebih dulu sehingga mentari menjawabku dengan tepukan hangat di pundak ?

Langkahku terhenti saat kumulai mengagumi gurat senja yang sarat warna, membingkai cakrawala nan lurus berkaca pada katulistiwa. Mungkin, seluruh isi semesta bersatu saat senja, memberi gambaran sempurna indahnya surga, itu yang kudengar dari angin tenggara yang meliuk dari balik bahuku sambil tertawa tawa

Dan aku tersadar : waktu berjalan bergantian, bergandengan dengan gelap-terangNya, bersisian hitam-putih dalam cerah pesta pora warna. Aku ingin mencintaiNya dan menulis semua hingga purna. Siapa tau esok hari sudah tak kulihat senja, siapa tau lusa usai sudah semua nuansa, siapa tau esok pagi di mataku ada gerhana. Hingga tak mampu lagi kulihat Sang Keindahan itu berkelana.

Lalu kucoba sebisanya menerjemahkan semua lewat pena, walau hanya dengan kata tak berwarna, mungkin saja membantu menjelaskannya suatu saat nanti. Bukankah menuliskanNya sama saja mencerna ulang : siapa aku dan siapa Kamu ? Mengapa kita dicipta kalau bukan kembali untuk mencipta ? Dan masih banyak tanya menggunung dalam pojok ruang renung.

Lekat kutatap pena yang akan mengisahkan semesta, lewat tanganku, lewat ujung jarimu. Ya, aku ingat, kudapat hitam -jika kau setuju bahwa ini juga warna- warnanya dari seorang sahabat. Sebagai penolak bala katanya, agar terhindar dari percobaan bunuh diri. Ia tau kalau aku sedang frustasi.

Lantas hari demi hari kucoba mencatat keputusasaanku yang memantul lewat semesta asaku. Demi Tuhan aku tak jua mengerti apa yang aku perbuat. Namun sedikit demi sedikit kelegaan merambati hati, memangkasi perih sembilu yang pernah mencoba membunuhku. Cahaya itu juga memberi warna baru di jiwa, membawa semesta duniaku memerangi perang itu sendiri, dan kedamaian datang silih berganti, memenuhi relung palung hati.

Laksana terlahir kembali dari rahim cahaya Sang Ibu, lantas kubiarkan pena ini menari nari

29.04.12
-Kur-

31 thoughts on “Untuk Senja, Sepotong

  1. lukas berkata:

    good job sobat.Teruskan!okkke

  2. dinda aryani berkata:

    bagus, indah, salam kenal 🙂

  3. uyayan berkata:

    enak gan bacanya,, mengalir indah..
    semoga saja kedamaian yang sudah di rasakan kan terus menyertai, terus dan terus tanpa terputus..

  4. puchsukahujan berkata:

    tentang Dia, inspirasi tiada habisnya 😀

  5. bensdoing berkata:

    bhs sastranya mantab sobat… 😀

  6. cece berkata:

    ya ampun.. bahasanya indah 🙂

  7. aduh diksi yang amat bagus,,,,buat ku melayang menerawang jauh ke suasana senja,,,

  8. qidiq berkata:

    trimakasih tuan…penamu merambah hati menelanjangi didpn cermin hidupku.

    salam sahabat

  9. Falzart Plain berkata:

    Senja yang sama kah?

  10. Tri berkata:

    Kuuuuuuuuuuuuur dah lama tak berkunjung
    ternyata kur massih setia dengan senja
    hingga tercipta rangkaian katakata yang indah
    —;{@

  11. aya-mariya berkata:

    waw bagus yaa.. like this

  12. oriie rianzy berkata:

    mencari maknanya

  13. heryerdana berkata:

    Ah…Senja memang tak akan pernah habis jika diuraikan dengan kata…
    Indah…sangat indah meskipun dia hadir tanpa jingga…^_^

  14. rezaslash berkata:

    Walau saya nggak ngerti puisi, dan baru sekali baca sepanjang ini. Tapi keren mas, tulisannya mengalir indah dengan sajak – sajak lembut namun maksud dibaliknya dapat… 🙂

  15. oriie rianzy berkata:

    komen apa ya? Bagus banget soalnya..

Tanggapan anda