Hujan kembali membekas, dalam kenangan indah nan pahit tanpa batas, menggiring pedih dan membasuh perih dalam kalbu yang tak lagi biru.
Sebiru lazuardi pagi
Merebut keceriaan kembang beraneka warna saat menikmati cahaya, gugusan mega mega tanpa warna mengusik ketenangan pemberi cahaya, membuat gelap, menghalau harap, menyemai wajah pucat dalam derai deras air yang dipaksanya berlarian, jatuh, kemudian hilang
Dan demi aliran sungai yang disenggamainya, deretan dedaunan bergesekan, serta nyanyian perih benih benih kenangan, biarlah kuhapuskan jejak jejak pagi, siang dan senja juga fajar hingga kini kudapati malam yang telah lebih dulu mendekapku dalam hasrat impian bersamaNya, Dia yang menunggu tanpa batasan, dalam dimensi ruang dan waktu yang tak pernah aku tau,
Biarlah kusandarkan tiap noktah noktah cahaya yang telah lama kusemai, menjadi batas pelangi dalam bingkai tidur malam ini, dalam batas ku bercumbu denganNya, dalam kehangatan nirwana dipelukNya
Karna sebenarnya, akupun tau, matahari ini telah lelah…
Hingga kuminta ijinNya agar ia boleh rebah dalam gundah, gelisah hingga resah yang dilahirkannya pagi ini, dengan tega dituntunnya sampai siang, dan dengan berang ia buang tanpa dikenang, oleh malam…
Biarlah ia bersandar dengan tenang hingga petang menjelma siang, dan demi siang yang juga akan menjelma petang,
maaf, aku sudah lelah…
19.03.12
-kur-
keren..
trimakasih 🙂
benarkah penulis telah bercumbu dengan-Nya ., ?
hati2 menodai kata …
penulis sengaja menggunakan majas hiperbol yang mungkin sedikit berlebihan di titik ini untuk menunjukan kerinduannya kepada sosok Sang Kekasih, yang lama telah dilupakan penulis dalam menghadapi pergumulan hatinya, dalam hal ini penulis sengaja menggunakan kata tersebut
namun penulis mengakui, saat menuliskan karya ini penulis ditemani oleh kisah epik Ramayana yang didalamnya mengungkapkan kisah keintiman hubungan kesatria dengan para Dewata, tak dapat disangkal bahwa penulis juga terpengaruh dengan gaya bahasa dan budaya penulisan epik tersebut.
tanpa bermaksud menodai kata, penulis mengakui ketimpangan budaya yang penulis tuliskan disini,
mohon dimaafkan apabila penggunaan kata tersebut agak kurang enak digunakan dalam karya ini
trimakasih atas perhatian sahabat Semilir 🙂
banyak penyair dan pujangga menodai kata dengan “bercumbu bersama-Nya” . tanpa menatap bagaimana efek negatif dari kalimat itu sob… kata bercumbu sendiri terlalu fulgar dan memiliki arti negatif jika dipadukan dengan kata “-Nya ”
karena kita semestinya senantiasa mensucikan kata “-Nya” dari hal-hal yang sebatas manusia serta makhluk2-Nya saja yang melakukan.
referensi : al-Quran . yang menyebutkan : Allah berbeda dari yang baru ( ciptaan-Nya ) .
🙂 keep spiritt., 🙂
yap, inilah yang penulis maksud dengan ketimpangan budaya yang terjadi dalam penulisan karya ini,
penulis sangat setuju dengan apa yang diutarakan oleh sahabat Semilir,
namun, tanpa bermaksud membenarkan diri, perlu digaris bawahi bahwa saat menuliskan ini penulis “agak” sedikit terpengaruh dengan budaya yang dibawa oleh kisah epik dari negeri seberang ini yang begitu lembut mndeskripsikan bagaimana kisah keintiman manusia dengan Sang Junjungan, dan disini, penulis mencoba mendiskripsikan ulang dengan gaya penulis sendiri
dan trimakasih kembali sahabat Semilir atas referensinya 🙂
lelah dalam pasrah
hmm, agak rancu dalam pengertian saya, apakah yang dimaksud adalah sudah tidak ingin pasrah ?
bukan gitu gan, maksudnya setelah merasa lelah kemudian berpasrah
oh, setuju dengan yang ini 🙂
sayangnya kelelahan kita tidak seikhlas “kelelahan” dari sang waktu yang berlalu…
hmm, saya sangat mengagumi ketabahan beliau
….dengan berkas cahaya Dia menyentuhmu…
sippp bagus kak KUR… ^^/
trimakasih Pakbuz 🙂
Nanya dikit. Lazuardi itu apa sih artinya, Kur?
lazuardi itu langit yang biru kak fals, khususnya langit pagi